Rabu, 26 Januari 2011

Yang Benar-Benar Bertaubat

Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kamu sekalian, siapakah yang benar-benar bertaubat ?…… “

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Maka Rasulullah Saw. menjelaskan:

  1. Barangsiapa bertaubat, tapi ia tidak mempelajari ilmu – haus ilmu pengetahuan dan kebenaran - maka dia bukanlah orang yang bertaubat.
  2. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak bertambah tekun ibadahnya, maka dia bukanlah orang bertaubat.
  3. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak membuat musuh-musuhnya ridha, maka dia bukanlah orang bertaubat.
  4. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak mengubah pakaian dan perhiasannya, maka dia bukanlah orang bertaubat.
  5. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak mengganti teman-temannya – yang memberinya pengaruh buruk - maka dia bukanlah orang bertaubat.
  6. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak mengubah akhlaknya, maka dia bukanlah orang bertaubat.
  7. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak melipat kasurnya dan tikarnya – tidak suka bangun malam - maka dia bukanlah orang bertaubat.
  8. Barangsiapa bertaubat, sedang ia tidak menyedekahkan kelebihannya, maka dia bukanlah orang bertaubat.
  9. Maka apabila tanda-tanda ini telah nyata pada seorang hamba, sesungguhnya dia telah benar-benar bertaubat.”

(HR Abdulllah Ibn Mas’ud)

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150116707256834

Tiga Kemuliaan Hidup

Rendah hati (tawaduk) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawaduklah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu. Memberi pengampunan itu tidak menambah seseorang, melainkan kemuliaan. Karena itu, berilah pengampunan, pasti Allah akan memuliakan kamu semua. Sedekah itu tidak mengurangi harta seseorang, melainkan akan menambahnya.

Maka bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua" (Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan Ashfihani).

Di satu sudut kota Madinah Al-Munawarah berdiam seorang pengemis Yahudi buta. Setiap kali ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata: "Janganlah engkau dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, dan juga tukang sihir. Jika engkau mendekatinya, maka engkau akan dipengaruhinya".Apa yang dilakukan Rasul terhadap pengemis itu? Setiap pagi Beliau mendatanginya dengan membawakan makanan. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Rasul menyuapi si pengemis dengan penuh kasih sayang. Kebiasaan tersebut terus dilakukan Rasulullah SAW setiap pagi, hingga beliau wafat. Setelah itu, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis tua lagi buta itu.

Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Bakar berkunjung ke rumah Siti Aisyah RA. Abu Bakar bertanya pada anaknya tersebut, "Wahai putriku, adakah satu sunnah kekasihku yang belum aku tunaikan". Aisyah menjawab, "Wahai ayahku, engkau adalah seorang ahli sunnah, dan hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau lakukan, kecuali satu saja". "Apakah itu," seru Abu Bakar dengan penasaran. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana," ungkap Aisyah dengan mata berkaca-kaca.

Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk si pengemis. Setelah bertemu muka, Abu Bakar mencoba menyuapinya dengan makanan yang dibawanya tersebut. Namun, di luar dugaan pengemis malah murka dan berteriak, "Siapakah kamu?" Abu Bakar menjawab, "Aku ini orang yang biasa". "Bukan! engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawabnya. "Jikalau ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah pula mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tetapi ia haluskan dulu makanan tersebut dengan mulutnya, setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri," ungkapnya lebih lanjut.

Abu Bakar tidak kuasa menahan deraian air matanya. "Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW," ungkap Khalifah pertama ini sambil menangis.Mendengar penjelasan Abu Bakar, pengemis itu terkejut lalu menangis sejadi-jadinya. Kemudian ia berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekannya, tapi ia tak pernah memarahiku sedikit pun. Ia selalu mendatangiku setiap pagi dengan membawakan makanan. Ia begitu mulia." Tak lama kemudian, di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq, pengemis Yahudi yang buta itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ia masuk Islam karena ketinggian akhlak Rasulullah SAW.

Sungguh, betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW. Betapa ringannya beliau memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang membencinya. Tidak ada balasan kebencian, dendam kesumat, atau keinginan untuk mencelakakan orang yang nyata-nyata menghina dan memfitnahnya. Padahal, saat itu Rasulullah SAW telah menjadi kepala negara. Ia begitu dihormati, pengaruhnya telah memenuhi Jazirah Arabia, kekuatan tentara yang dimilikinya pun mencapai puluhan ribu orang. Kalau mau, sangat mudah bagi beliau untuk sekadar menghukum atau menyingkirkan seorang pengemis tua yang juga buta itu.

Yang terjadi malah sebaliknya. Setiap pagi beliau mengantarkan makanan dengan tangannya sendiri pada pengemis itu, lalu menyuapinya, setelah beliau mengunyahkannya terlebih dulu. Gambarannya, bagai seorang ibu yang dengan penuh kasih sayang mengunyahkan makanan bagi anaknya. Subhanallah! Bahkan, sahabat sekaliber Abu Bakar yang terkenal akan kelembutannya tidak mampu melakukan dengan sempurna apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Ya, semua terjadi karena hati beliau begitu suci dari dosa. Sehingga kasih sayang, kelembutan, dan keinginan untuk membahagiakan, tampak jelas terpancar ke luar dari hatinya. Setiap orang yang bertemu dengan beliau pasti tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali hikmah dan kebahagiaan. Bagaikan segenggam gelas kristal yang bersih lagi bercahaya yang dituangkan ke dalamnya minuman madu dari syurga. Setiap orang, tidak akan meneguk racun dari gelas tersebut, mereka hanya akan mendapatkan manisnya madu. Tak heran bila Allah SWT berkenan memuji beliau,

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memiliki budi pekerti yang agung (QS. Al-Qalam [68]: 4)”.

Lewat interaksinya dengan pengemis Yahudi yang buta itu, Rasulullah SAW mengajari kita tiga macam kemuliaan, yaitu:

1. sikap rela memaafkan,

2. rendah hati (tawaduk),

3. dan memberi tanpa pamrih.

Rasulullah SAW memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas, tapi karena kasih sayang dan keikhlasan yang sempurna. Menurut Imam Al-Ghazali memaafkan yang hakiki adalah bahwa seseorang itu memiliki hak untuk membalas, meng-qishas, menuntut, atau menagih dari seseorang yang tertentu; tapi hak yang dimilikinya tersebut dilenyapkan atau digugurkan sendiri, sekalipun ia berkuasa untuk mengambil haknya itu. Sikap rela memaafkan yang beliau contohkan bukan pula karena adanya paksaan dari orang lain, atau adanya pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh, namun semata-mata dilakukan untuk mendapatkan rida Allah SWT.

Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, "Rendah hati (tawaduk) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawadhulah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu. Memberi pengampunan itu tidak menambah seseorang, melainkan kemuliaan. Karena itu, berilah pengampunan, pasti Allah akan memuliakan kamu semua. Bersedekah itu tidak mempengaruhi harta seseorang, melainkan akan semakin banyak jumlahnya.

“Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua" (Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan Ashfihani).

Diungkapkan pula, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu" (Diriwayatkan oleh Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Dalam situasi zaman yang serba tak menentu ini-di mana individualisme, lunturnya kepedulian sosial, kesenjangan sosial, juga dendam yang diperturutkan-nilai moral yang dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembali, minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar. Walau terlihat sepele, namun dampak yang ditimbulkannya akan sangat besar. Tentang hal ini, Gerald Jampolsky mengatakan, Kekuatan cinta dan kasih sayang serta sikap rela memaafkan dapat membuahkan keajaiban-keajaiban dalam hidup. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sabtu, 06 Juni 2009

Ilmu Pembersih Hati

Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermanfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat ,memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya,

"Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada manusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa manfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.***

Jumat, 05 Juni 2009

ORANG-ORANG SUKSES (II)

Buku-buku Ibnu Hazm terbakar seluruhnya, maka ia mulai menulis kembali dari hafalannya. Qatadah menghafal buku seberat muatan keledai. Al-Sya’bi berkata, “Saya tidak pernah menuliskan tinta hitam ke kertas putih kecuali saya menghafalnya.”

Ibnu Duraid menyalin kitab Al-Jamharah sebanyak 4 kali. Imam Bukhari meneliti kitab Shahihnya sebanyak 16 kali. Setiap hadits yang ditulisnya beliau awali dengan mandi dan shalat dua rakaat.

Abu Manshur Al-Tsa’alibi menjahit kulit kijang, kemudian cita-citanya semakin tinggi hingga ia menjadi penyair dunia. Al-Farra’ bekerja sebagai tukang kulit, ia juga bisa menjadi orang yang ahli dalam bidang nahwu. Ibnu Zayyat pernah berjualan minyak, kemudian ia bisa menjadi menteri.

Muhammad Al-Amin As-Syinqithi, seorang alim ushul fiqih, ahli tafsir dan ahli bahasa. Beliau mampu mengajarkan ilmu tanpa persiapan. Beliau memang sangat mengagumkan karena kecerdasan akalnya, bersih pemikirannya dan kuat hafalannya, sehingga banyak ulama yang mengaguminya, dan pantas dijadikan perumpamaan bagi orang-orang cerdas.

Shalahuddin Al-Ayyubi, penakluk kota suci Al-Quds, adalah pengusir tentara salib, penolong agama dan penegak keadilan, disertai dengan ketakwaan, komitmen, takut dan amanah. Allah meninggikannya karena keikhlasan, menolongnya kejujurannya dan memenangkannya di dalam jihad. Beliau mampu mengalahkan musuh, menyebarkan agama yang murni dan bersungguh-sungguh dalam mencari kemuliaan dan cita-cita yang luhur.